Senin, 03 Oktober 2011

Sejarah Rejang Tiang IV di Lebong
Kisah ini merupakan asal muasal terbentuknya jang pat petulai. Sebelum kedatangan tuan biku yang berempat yakni Tuan Biku Sepanjang Jiwo (Tubei), Tuan Biku Bermano (Bermani), Tuan Biku Bembo (Jurukalang) dan Tuan Biku Bejenggo (Selupuh) itu dari Mojopahit di Lebong, tanah ini masih bernama Renah Sekalawi dan telah diduduki oleh bangsa rejang empat petulai. Saat itu rajanya bergelar ajai. Diantara raja-raja tersebut nama dan tempatnya masih dikenali sampai saat ini adalah Ajai Ajai Bitang  di Dusun Pelabai (Pelabi) Lebong (Marga  Suku IX sekarang), Ajai Begeleng Mato di Kutai Belek Tebo Lebong (Marga Suku VIII sekarang), Ajai Siang di Dusun  Siang Lekat Lebong (Marga Jurukalang) dan raja Tiea Keteko di Dusun Bandar Agung Lebong  (Marga Suku IX sekarang). Lalu bagaimana  rejang tiang IV di Lebong terbentuk, berikut petikan hasil wawancara beberapa sumber dan referensi yang diperoleh mengenai rejang tiang IV di Lebong.

============***********============






Sewaktu dalam pemerintahan ajai-ajai tersebut, negeri Lebong telah memiliki adat istiadat  dan huruf sendiri. Saat itu aturan pemerintahan terlalu keras alias ketat, barang siapa yang melanggar adat maka pelakunya dibunuh.
Sekitar abad ke 12 atau 13 atau sekitar 600 dan 700 tahun lalu datanglah ke empat orang ini ke Renah  Sekalawi (Lebong) dari kerajaan Majapahit. Konon, keempat orang ini  merupakan putra-putra raja Majapahit. Keempat orang ini dikawal oleh para pengawal dan tujuan mereka datang ke Renah Sekalawi (Lebong) Pinang Belapis menurut riwayat adalah ingin mencari negeri dan akan dipimpin oleh masing-masing empat putra-putra raja majapahit.
Pada masa itu Kerajaan Majapahit sedang terjadi huru-hara perebutan kekuasaan diantara diantara putra-putra raja. Karena keempat putra raja ini tidak mendapatkan apa yang diinginkan, akhirnya mereka pergi keluar dari kerajaan. Mereka adalah Tuan Biku Sepanjang Jiwo, Tuan Biku Bermano, Tuan Biku Bembo dan Tuan Biku Bejenggo.
Dalam sejarahnya, dari kerajaan Majapahit dan  di dalam perjalanan mereka itu berpencar-pencar. Ada yang menyusur pantai pulau Sumatera sebelah Timur, masuk di Palembang, adapula yang mendarat di Lampung  adan juga ada yang menyisir pulau Perca sebelah Barat.
Yang menyusur Kuala Ketahun lalu memudiki sungai di Renah Sekalawi (Pinang Belapis). Dia  inilah yang di sebut dalam tembo-tembo  “Tuan Biku Sepanjang Jiwo”. Menurut penuturan Tokoh Masyarakat di Desa Sukasari Usman dikatakan menurut orang tua-tua dulu nama biku itu didapati  oleh anak-anak raja di Padang Gersik Bulan di  tanah Majapahit di bawah Beringin Cala Watus, ketika salah seorang dari mereka itu bertanya “Padang apakah ini?” maka menjawalah Pujuh Putih Inggih Gusti Tuanku Biku Bermano, “Inilah Padang Gersik Bulan”.
Sementara itu, Tuan Biku Sepanjang Jiwo, karena arif dan bijaksana dan sangat pengasih penyayang serta sakti, maka diangkatlah dirinya sebagai raja oleh bangsa Rejang untuk menjadi raja menggantikan Ajai Bintang yang berkedudukan di Pelabai (Pelabi). Kemudian datang pula Tuan Biku Bembo dan menjadi raja di Ulu Sungai Ketahun menggantikan Ajai Siang yang berkedudukan di Sukanegeri dekat Tapus dan Biku Bermano  yang juga datang dan kemudian menjadi ketua atau raja  Bangmego Pitulai Bermani di Kota Rukam dekat Dusun Tes. Kemudian datang pula Tuan Biku  Bejenggo yang memudiki biduk menyusuri  Sungai Musi sampai  ke Ulu Sungai Musi, akhirnya di sanalah dia diangkat menjadi raja  Bangsa Rejang di Batu Lebar dekat Dusun Agung Rejang.
Ketika Tuan Biku Sepanjang Jiwo berpisah dengan saudara-saudaranya di Majapahit, dirinya sempat memberikan amanat,  bila ingin mencari dirinya, hendaklah terlebih dahulu ditimbang Air Tujuh Kuala Sungai. Manakala  kedapatan suatu sungai yang lebih berat  dari yang lain, hendaklah sungai itu dimudiki niscaya akan bertemu dengan dirinya.
Saat itu Tuan Biku Bermano bermaksud untuk mencari saudaranya  Biku Sepanjang Jiwo. Setelah menimbang air kuala tujuh buah, maka didapatlah olehnya air kuala sungai Ketahun lebih berat dari air kuala sungai yang lainnya. Akhirnya Tuan Biku Bermano pun menyusuri Sungai Ketahun dengan menaiki sebuah biduk, akhirnya bertemulah Tuan Biku Bermano dengan saudaranya Biku Sepanjang Jiwo.
Saat bertemu dengan saudaranya,  Tuan Biku Bermano mengatakan “Disini kiranya saudara-saudara telebong (Telebong artinya terkumpul). Akhirnya Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong. Sedangkan negeri tempat pertemuan itu di sebut Pelabai yang artinya tempat.
Setelah keempat tuan-tuan biku menetap dan menjadi raja bangsa rejang, maka petulai-petulai  yang diperintahnya  itu pun di sebut dengan sebutan Bang Mego atau Marga. Bang Mego atau Marga Tuan Biku Sepanjang Jiwo  bernama Bang Mego  atau marga Tebuij atau Tubai yang berkedudukan di Dusun Pelabai (Pelabi), kemudian di Dusun  Kutai Belau Saten (Kota Baru santan) adalah untuk marga Suku IX.
Bang Mego atau Marga  Tuan Biku Bembo bernama Jurukalang  dan berkedudukan di Dusun Sukanegeri (Marga Bermani Jurukalang). Bang Mego Biku Bejenggo bernama Selupu Ea atau Selupu dan berkedudukan di Batu  Lebar (Marga Selupu Rejang).
Berdasarkan naskah tembo Rejang Empat Petulai, asal-usul tentang memberi nama  Bang Mego atau Marga ini diceritakan  seperti berikut:
Pada suatu masa datanglah musim kedukaan  dalam kerajaan Rejang Empat Petulai yakni Tuan Biku Sepanjang Jiwo, Tuan Biku Bermano, Tuan Biku Bembo dan Tuan Biku Bejenggo, rakyat banyak yang sakit dan mati, padi ternak pun tiada yang jadi. Setelah melakukan berbagai upaya untuk menolak balak (bahaya dan musibah) yang juga tiada hasil, maka keempat raja ini mufakat  untuk memanggil dan menyuruh ahli nujum melihat dalam ramalannya terhadap kejadian yang dialami oleh keempat kerajaan tersebut. Menurut perkataan ahli nujum, yang menyebabkan kedatangan marabahaya negeri semacam itu  adalah seekor siamang (Beruk) putih yang tinggal di atas pohon Benuang Sakti. Apabila siamang putih ini mengeluarkan suara ke arah yang ditujunya, maka negeri-negeri sebagian yang dihadapinya itu  mendapat marabahaya seperti yang telah diderita  oleh mereka pada masa itu.
Atas kesepakatan keempat raja tersebut, dicarilah batang Benuang Sakti tempat kediaman Siamang Putih untuk ditebang. Ke empat raja ini akhirnya berpencar mencari batang Benuang Sakti yang dimaksud. Akhirnya batang Benuang Sakti yang dimaksud itu ditemukan  oleh Tuan Biku Bermano. Ditebangnya batang Benuang Sakti, anehnya saat batang itu ditebang  oleh Tuan  Biku Bermano tidak juga kunjung roboh, bahkan lebih anehnya lagi segempal potongan  kayu runtuh akibat ditebang dua gempal pula kayu itu kian membesar batangnya.
Masih menebang pohon sakti itu, datanglah anak buah petulai Tuan Biku Sepanjang Jiwo dan berkata, “Bie Pues beubuie-ubuie mesoa, uyo mako betemeu” (artinya: telah puas kami berduyun-duyun bersama kemari mencari, sekarang bertemu). Akhirnya secara bersama-sama mereka merobohkan pohon Benuang Sakti. Namun setelah bertambah jumlah personil untuk merobohkan kayu tidak juga bisa dirobohkan bahkan kayu itu tamah berdiri kokoh.
 Tidak lama kemudian anak buah petulai Tuan Biku Bejenggo pun datang dan membantu rombongan yang sudah lebih dulu menebang pohon Benuang Sakti. Kedatangan rombongan yang baru pun ternyata tidak membuahkan hasil. Setiap kali kena tebasan pohon itu justeru semakin membesar. Akhirnya, melihat keanehan itu, anak buah Petulai Tuan Biku Bermano  berkata “Keme yo kerjo cigai ade  manai ne igai, anak buah Tuan Biku  Sepanjang Jiwo berubuie-ubuie kulo, anak buea Tuan Biku  Bejenggo  bie gupeak kulo kerjo  tetapi ati keno kijeu yo lok ubeak berang kalaie Tuan Biku Bembo alang neigai mako  silok ubeak kejeu yo” (artinya:  kami bekerja hingga tak berdaya lagi, anak buah Tuan Biku Sepanjang Jiwo telah bersama-sama pula bekerja dan anak buah Tuan Biku Bejenggo telah bertumpuk-tumpuk pula, bekerja tetapi pohon ini tidak juga roboh. Barangkali saja anak buah Tuan Biku Bembo yang menjadi halangannya).
Saat mengatakan demikian, datanglah anak buah tuan Biku Bembo  dan Tuan Biku Bermano mengulang kembali pembicaraan dan menceritakan keanehan batang Benuang Sakti yang saat ditebang tidak mau roboh dan justeru batangnya bertambah besar.
Akhirnya keempat raja ini kembali  melakukan mufakat untuk bertarak (bertapa) supaya pohon itu bisa ditebang dan roboh. Adapun hasil dari pertapaan itu isinya adalah: “Kalau hendak menyuruh roboh pohon Benuang Sakti itu, hendaklah menguburkan  anak gadis  dibawah pohon itu”
Kononnya pula, Siamang Putih itu bersuara dari atas pohon Benuang Sakti, dikatakannya “Benuang Sakti ini akan rebah kalau di bawahnya  akan dikalang oleh tujuh gadis muda remaja”. Akhirnya keempat raja ini kembali bermufakat akan mengadakan anak gadis yang diinginkan oleh Siamang Putih. Mengingat anak buah petulai Biku Bembo datangnya kemudian dan belum membantu bekerja menebang pohon, maka diperintahkan untuk mencari gadis yang dikehendaki itu. Sungguh pun demikian, anak buah Tuan Biku  tersebut mencari  juga akal agar anak gadis yang akan dikuburkan  itu tidak mati. Setelah ke tujuh gadis remaja didapati dan segeralah dilakukan penggalian  lobang sedalam sembilan hasta dan lebar sembilan hasta pula. Pekerjaan untuk itupun akhirnya dilakukan dan masing-masing anak buah diberikan tugas yang berbeda-beda, ada yang menggali lubang, membuat penghadang atau kalang, ada pul yang mencari penutup. Sementara anak buah Biku Bermano  memberi makanan beram manis kepada pekerja.
Tidak lama kemudian, setelah pekerjaan usai dan dikuburkan hidup-hidup  ketujuh gadis remaja itu, barulah  pohon benuang sakti ditebang  dan akhirnya roboh di atas tempat ke tujuh anak gadis itu di kuburkan. Ke tujuh anak gadis itu pun selamat dan siamang putih pun raib.
Akhirnya setelah kayu sakti itu roboh dan siamang putih pun raib, keempat kelompok itu mendapatkan julukan masing-masing menurut kelakuan dan pekerjaan  waktu menebang pohon Benuang sakti yaitu Tubaij (Tubai) asal katanya dari berubuie-ubuie atau berduyun-duyun. Bermanai (Bermani) asal katanya  dari Manai (Tiada daya lagi), kemudian Selupuea (Selupu) berasal dari kata berupuea-upuea (Bertumpuk-tumpuk) Jurukalang yang mengadakan galang  atau yang menjadi alangan.
Semasa tuan-tuan biku tersebut menjadi raja bangsa Rejang , maka rakyatnya akhirnya diajarkan untuk bercocok tanam oleh masing-masing raja. Saat itu mereka bercocok tanam padi  di sawah dan ladang (sebelumnya bangsa rejang saat itu belum mengenal padi dan masih makan jagung dan talas).
Tentang adat istiadat Rejang tiada dirubah, melainkan yang tidak  baik dibuangnya dan yang kurang baik ditambah seperti gawal tiada lagi dibunuh melainkan membangun, artinya kesalahan  itu boleh dibayar dengan emas atau uang dan bukan dibayar dengan jiwa.
Yang menjadi pokok adat bangsa rejang yang masih  dipakai hingga kini adalah:
1. Membunuh, membangun, artinya sipembunuh dihukum dengan membayar bangun  kepada keluar atau famili yang dibunuhnya berupa emas atau perak,
2. Salah berhutang, maksudnya tiap-tiap  kesalahan ditanggung oleh yang berbuat salah,
3. Gawal mati, artinya tiap-tiap seseorang melakukan kejahatan yang maha besar atau yang dilarang keras oleh adat maka seseorang tersebut dihukum mati,
4. Melukai menepung, maksudnya memberikan emas atau perak kepada orang yang dilukai,
5. Selang, berpulang, maksudnya tiap barang yang dipinjam harus dikembalikan,
6. Suarang berbagi, maksudnya harta yang diperoleh  bersama-sama harus dibagi sama banyak,
7. Buruk Puar Aling Jilupung, patah tumbuh hilang berganti, artinya tiap-tiap yang hilang mesti dicari gantinya, mati suami saudara suami akan menjadi gantinya, mati siteri saudara isterinya pula yang menjadi gantinya (mengganti tikar)
8. Kalah adat karena janji
9. Sumbing bertitip patah berkipal seperti buruk puar aling jilupung, patah tumbuh hilang berganti.
10. Diberi  habis saja, suka sama suka
11. digelung jangan diurak, direba jangan dipanjek.
Tuan biku Sepanjang Jiwo tidak lama menjadi raja di Marga Tubai dan segera kembali ke majapahit tanpa meninggalkan keturunan di Lebong. Sebagai penggantinya adalah Sultan Rajo Megat atau Tuan rajo Jonggor anak raja dari Pagar Ruyung. (Menurut cerita dalam naskah tembo,  Mibang Dusun Muara  Ketaju Marga  suku IX, bahwa Tuan Biku Sepanjang Jiwo  adalah anak raja dari Pagar ruyung  dan menantu dari Ratu Majapahit. Dia inilah yang sering disebut banyak orang sebagai sebagai datuk Imbang Jayo. Dia juga akhirnya dipanggil untuk kembali ke Pagar Ruyung untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi. Dan sebagai penggantinya Datuk Imbang jayo menyuruh mamak (paman)-nya Tuan Sultan rajo Megat yang di tuduh  bersalah membuat sumbang  di Pagar Ruyung. Dia menikahi Putri Gilang adik Rajo Bilang di Dusun Pelabai.
Beberapa lama kemudian, dari empat marga tersebut dan bangsa rejang  telah bertambah (berkembang) serta banyak pula pecahan keturunannya, maka dibuatlah peraturan baru agar negeri yang didiami menjadi aman sentosa, penjagaan musuh harus diatur sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu pada suatu masa dibuat pemufakatan  besar oleh bangsa Rejang Tubai, Bermani, Jurukalang dan Selupu serta mengadakan bimbang besar untuk menetapkan aturan pemerintahan negeri dan adat sitiadat dalam negeri  serta akan mengangkat seorang dari pasirah yang empat untuk menjadi raja pasirah  yaitu yang  tertua lagi bijaksana. Saat itulah akhirnya marga Tubai dipecah menjadi dua yaitu suku VIII dan Suku IX. Begitu juga dalam pemufakatan turunan marga Tubai  yakni marga Tubai, Jurukalang, Bermani dan Selupu diundang untuk menghadirinya. Merka yang datang adalah empat depati  Sindang Empat lawang, lima depati Sindang Beliti, tiga pasirah Ulu Musi (Selupu Rejang, Bermani Ulu dan Merigi), 11 proatin Renah Pasisir, tujuh proatin Renah Ketahun.
Sejak saat itulah berdiri di Lebong lima marga dengan lima pasirah yang seorang dari pasirah itu diangkat menjadi ketuanya dan disebut pasirah – Tiang IV lima dengan rajanya dan adat rejang yang dinamai adat Rejang Tiang IV. Berikut nama pasirah  di Lebong  waktu diadakan pemufakatan besar, Marga Tubai (Suku IX) pasirahnya  Tuan rajo di Bandar Agung. Marga Tubai (Suku VIII) Pasirahnya Tuan Setio Muaro Depati saudara tua dari Tuan rajo di Dusun Karang Anyar. Marga bermani pasirahnya  Tuan Tachta Tunggal tinggal di Kota Rukam. Marga jurukalang pasirahnya Tuan Ria Setanggai Panjang di Tapus, dan Marga Selupu Lebong pasirahnya Adjai malang di Dusun Atas Tebing. (Tamat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar